I. Ta’rif Nikah
Dr. Musthofa Asy-Syiba’iy mengemukakan ta’rif nikah menurut Syara’ ialah :
Dr. Musthofa Asy-Syiba’iy mengemukakan ta’rif nikah menurut Syara’ ialah :
النِّكَاحُ
عَقْدٌ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ تَحِلُّ لَهُ شَرْعًا، غَايَتُهُ
إِنْشَاءُ رَابِطَةٍ لِلْحَيَاةِ الْمُشْتَرَكَةِ وَالنَّسْلِ.
“Perkawinan adalah akad antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang dihalalkan menurut
Syara’, yang bertujuan mewujudkan hubungan / ikatan untuk hidup bersama
dan berketurunan.”
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 perihal 1 dikatakan “Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Istilah
lain yang searti ialah ZIWAJ. Hubungan antara laki-laki dan perempuan
dengan ikatan ziwaj sudah dikenal sejak Nabi Adam a.s. sebagai manusia
pertama, Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah : 35
وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ ... الآية.
“Dan Kami berfirman : “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini”.
Dan dikenal pula di Kurun Akherat, untuk orang-orang mukmin yang ada di surga, Allah berfirman dalam surah Ad-Dukhon : 54
كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُم بِحُورٍ عِيْنٍ.
“Demikianlah. Dan kami berikan kepada mereka bidadari”.
II. Macam-macam Nikah Sebelum Islam
Bentuk-bentuk perkawinan sebelum Islam yang dibatalkan oleh Islam antara lain:
Bentuk-bentuk perkawinan sebelum Islam yang dibatalkan oleh Islam antara lain:
1. Nikah Khidn (Pergundikan) : ialah nikah yang tanpa pinangan, mas kawin, dan tanpa akad.
Pergundikan
selama dilakukan secara tersembunyi, masyarakat Jahiliyah menganggap
tidak apa-apa, tetapi kalau dilakukan terang-terangan dianggap tercela.
2. Nikah
Badal (tukar-menukar istri) : yaitu seorang laki-laki mengatakan
kepada temannya : “Ambillah istriku dan kuambil istrimu dengan ku
tambah sekian”.
3. Nikah
Istibdho’ (Nikah sementara) : artinya hanya untuk mencari keturunan
dengan menitipkan istri pada laki-laki lain yang dianggap sebagai suami
sementara, setelah ada tanda-tanda kehamilan istri diminta kembali.
4. Nikah Mut’ah : ialah perkawinan yang hanya untuk waktu tertentu : sebulan, setahun, dan seterusnya.
III. Hukum Nikah
Hukum nikah ada lima ialah :
1. Jaiz
(diperbolehkan), ini merupakan asal hukumnya. Yaitu bagi laki-laki yang
tidak terdesak oleh alasan-alasan yang segera mewajibkan nikah atau
alasan-alasan yang mengharamkan untuk nikah.
2. Sunnah,
yaitu bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu untuk nikah,
tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina. Nikah baginya
lebih utama dari bertekun diri dalam beribadah, karena menjalani hidup
sebagai pendeta tidak dibenarkan dalam Islam.
3. Wajib,
yaitu bagi orang yang sudah mampu nikah, nafsunya telah mendesak dan
takut terjerumus dalam perzinaan. Karena menjauhkan diri dari perzinaan
adalah wajib, sedang untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali
dengan jalan nikah.
4. Makruh,
yaitu bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja
istrinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak
mempunyai keinginan syahwat yang kuat.
5. Haram, yaitu bagi orang yang berniat akan menyakiti terhadap perempuan yang akan dinikahinya.
IV. Tujuan Perkawinan
1. Tujuan Ibadah (memperoleh Ridlo Allah SWT).
2. Tujuan memelihara keturunan.
3. Untuk memperoleh Dzurriyyah Thoyyibah (keturunan yang baik).
4. Untuk memelihara kesucian farji.
5. Untuk mendapatkan kehidupan yang tentram dan abadi (Sakinah).
6. Untuk mendapatkan kesejahteraan lahir-batin.
7. Untuk memelihara keteguhan iman.
V. Rukun Nikah
Rukun nikah ada lima, yaitu :
1. Calon suami
2. Calon istri
3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Sighot (ijab qobul).
Ad. V.1 dan 2 Calon Suami dan Calon Istri
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami dan istri di antaranya ialah antara keduanya tidak ada mani’ (yang menghalangi dilangsungkannya pernikahan). Hal-hal yang menghalangi dilangsungkannya perkawinan dapat dibedakan :
a. Larangan yang bersifat muabbad (selama-lamanya tidak boleh nikah), yakni :
1) Karena hubungan nasab, yaitu :
- Ummahat (ibu, ibunya ibu, dan seterusnya naik ke atas).
- Albanat (anak-anak perempuan, dan seterusnya ke bawah).
- Al-Akhowat (saudara-saudara perempuan).
- Al-Kholah (bibi dari pihak ibu atau saudara-saudara perempuan ibu).
- Al-‘Ammah (bibi dari pihak ayah atau saudara-saudara perempuan ayah).
- Banatul Akhi (anak-anak perempuan dari saudara laki-laku).
- Banatul Ukhti (anak-anak perempuan dari saudara perempuan).
2) Karena hubungan mertua (Mushoharoh)
- Ummu Zaujah (ibunya istri dan seterusnya ke atas).
- Ummu Abiha (ibunya ayah istri dan seterusnya ke atas).
- Ibnatu Zaujatihi Allati Dakholaha (anak tiri yang ibunya sudah dikumpuli).
- Zaujatul Abi (istrinya ayah).
- Zaujatul Ibni (istri anak laki-laki dan seterusnya ke bawah).
3) Karena Rodho’ah (susuan)
- Ummul Murdi’ah (ibu dari wanita yang menyusui).
- Ummu Zaujatil Murdi’ah (ibu dari suami wanita yang menyusui).
- Semua nasab wanita yang menyusui. Nabi saw. bersabda :
يَحْرُمُ مِنَ الرًّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ. رواه البخارى ومسلم عن ابن عباس
“Apa yang haram dari sebab susuan ialah segala hal yang haram karena nasab”.
Mengenai
batas keharaman, para Ulama berbeda pendapat perihal banyaknya susuan.
Sebagian berpendapat susuan sedikit atau banyak adalah sama dalam hal
mengharamkan. Ulama lain berpendapat batas keharaman ialah lima kali
susuan yang terpisah-pisah. Ulama yang lain berpendapat tiga kali susuan
atau lebih.
4) Karena Li’an (sumpah yang berisi tuduhan zina antara suami istri).
b. Larangan Sementara
Jenis-jenis Mani’ / Tahrim Muwaqqot antara lain :
1) Mani’ul ‘Adad : larangan karena jumlah lebih dari empat.
2) Mani’ul Jami’ : larangan sebab mengumpulkan dua orang perempuan bersaudara atau seorang perempuan dengan bibinya.
3) Mani’ul Kufri : larangan sebab kafir.
4) Mani’ul Ihrom : larangan sebab sedang melakukan ihrom.
5) Mani’ul ‘Iddah : larangan sebab masih dalam ’iddah.
6) Tholak Bain Kubro : larangan sebab sudah ditholak tiga.
7) Mani’uz Zaujiyyah : larangan sebab menjadi milik orang lain.
ad. V. 3 Wali
Syarat-syarat menjadi wali ada enam, yaitu :
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal sehat
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. Adil
Tentang tertib wali sebagai berikut :
a. Al-Ab (ayah).
b. Al-Jad (ayahnya ayah).
c. Al-Akhu lil Abi Wal Ummi (saudara laki-laki sekandung).
d. Al-Akhu lil Abi (saudara laki-laki seayah).
e. Ibnul Akhi lil Abi Wal Ummi (anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung).
f. Ibnul Akhi lil Abi (anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah).
g. Al-‘Amm (paman).
h. Ibnul ‘Amm (anak laki-laki paman).
i. Al-Hakim.
ad. V. 4 Dua orang saksi
Syarat-syarat
menjadi saksi sama dengan syarat-syarat menjadi wali, yaitu : Islam,
baligh, berakal sehat, merdeka, laki-laki, dan adil. Allah berfirman
dalam surah At-Taubah : 71 sebagai berikut :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain”.
Kesaksian
adalah merupakan pertolongan, maka tidak diterima kesaksian seorang
non-muslim kepada seorang muslim. Imam Syafi’iy meriwayatkan Hadits
dalam kitab Musnadnya :
لاَنِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ وَشَاهِدَى عَدْلٍ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali yang cakap dan dua orang saksi yang adil”.
ad. V. 5 Sighot / Ijab Qabul
Contoh-contoh Ijab Qabul :
a. Ijab oleh wali ayah kepada mempelai laki-laki :
يَا عَلِيُّ : أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ بِنْتِى فَاطِمَةَ بِمَهْرِ .... حَالاً / مُؤَجَّلاً.
b. Ijab oleh wali ayah kepada wakil mempelai laki-laki :
يَا زَيْدُ: أَنْكَحْتُ وَزَوَّجْتُ بِنْتِى فَاطِمَةَ عَلِيًّا مُوَكِّلَكَ بِمَهْرِ ... .
c. Ijab oleh wakil wali ayah kepada mempelai laki-laki :
يَا عَلِيُّ : أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَحْمَدَ مُوَكِّلِى بِمَهْرِ ... .
d. Ijab oleh wakil wali kepada wakil mempelai laki-laki :
يَا زَيْدُ: أَنْكَحْتُ وَزَوَّجْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَحْمَدَ مُوَكِّلِى عَلِيًّا مُوَكِّلَكَ بِمَهْرِ ... .
e. Qabul mempelai :
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا لِنَفْسِى بِالْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ حَالاً.
f. Qabul wakil mempelai :
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا لَهُ بِالْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ حَالاً.
VI. Pernikahan Wanita Hamil Sebab Zina
Dalam kitab Hasyiyah al-Bajuriy juz II halaman 169 dinyatakan sebagai berikut :
لَوْ نَكَحَ حَامِلاً مِنْ زِنًا صَحَّ نِكَاحُهُ قَطْعًا وَجَازَ لَهُ وَطْؤُهَا قَبْلَ وَضْعِهِ عَلَى اْلأَصَحِّ.
“Jika
seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang tengah hamil karena
zina, maka sah nikahnya. Suami boleh mewathi’nya menurut pendapat yang
paling shahih.”
Mengenai
keadaan si bayi tergantung kepada jangka waktu antara pernikahannya dan
melahirkannya. Jika jarak antara nikah dan lahir ada enam bulan lebih
maka bayi tersebut dinasabkan kepada Bapaknya. Akan tetapi jika jarak
antara nikah dan lahir kurang dari enam bulan, maka bayi itu adalah anak
ibu atau waladul ummi.
Tersebut
dalam kitab Ghayatut Talkhishil Murad Min Fatawa Ibni Ziyad pada Hamisy
Bughyatul Mustarsyidin halaman 242 sebagai berikut :
نَكَحَ
حَامِلاً مِنَ الزِّنَا فَأَتَتْ بِوَلَدٍ لِزَمَنِ إِمْكَانِهِ مِنْهُ
بِأَنْ وَلَدَتْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ وَلَحْظَتَيْنِ مِنْ عَقْدِهِ
وَإِمْكَانِ وَطْئِهِ لَحِقَهُ وَكَذَا إِنْ جُهِلَتِ الْمُدَّةُ وَلَمْ
يَدْرِ هَلْ وَلَدَتْهُ لِمُدَّةِ اْلإِمْكَانِ أَوْ لِدُوْنِهَا عَلَى
الرَّاجِحِ، وَإِنْ وَلَدَتْهُ لِدُوْنِهَا لَمْ يَلْحَقْهُ.
“Seorang
laki-laki yang menikahi wanita hamil dari zina, kemudian wanita itu
melahirkan anak dalam masa yang anak itu mungkin dari padanya, yakni
bahwa ia melahirkan sesudah enam bulan dan dua detik dari akad nikahnya
dan kemungkinan mewathi’nya, maka anak itu dinasabkan kepadanya.
Demikian pula jika tidak diketahui apakah perempuan itu melahirkan dalam
masa yang mungkin atau dari masa itu, menurut pendapat yang
diunggulkan. Sedangkan apabila wanita itu tidak melahirkan anak kurang
dari enam bulan, maka anak tidak dinasabkan kepadanya.”
Demikian pula dinyatakan oleh Imam al-Nawawiy dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab juz XIX halaman 91
فَرْعٌ
: وَإِنْ تَزَوَّجَ إِمْرَأَةً وَأَتَتْ بِوَلَدٍ ِلأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ
أَشْهُرٍ مِنْ حِيْنِ الْعَقْدِ إِنْتَفَى عَنْهُ مِنْ غَيْرِ لِعَانٍ
ِلأَنَّ أَقَلَّ مُدَّةِ الْحَمْلِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ بِاْلإِجْمَاعِ.
“Cabang
: Apabila seorang laki-laki menikahi wanita kemudian wanita tersebut
melahirkan anak dalam masa yang kurang dari enam bulan dari waktu akad
nikah, maka anak tersebut tidak ada hubungan nasab dengannya, tanpa
melalui jalan li’an, dengan alas an bahwa menurut ijma’ paling sedikit
masa mengandung adalah enam bulan.”
VII. Hukum Nikah Melalui Media Teleconference
Apabila calon suami berada
di luar negeri sedangkan wali berada di Indonesia, kemudian mereka
melaksanakan akad nikah dengan menggunakan media komunikasi yang ada
misalnya teleconference, maka dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua.
Pertama,
golongan Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syarat
orang yang melakukan akad nikah adalah bahwa semua pihak harus berada
pada satu tempat dan satu waktu secara bersamaan. Oleh karena itu akad
nikah yang tidak dilaksanakan pada satu majlis walaupun kedua belah
pihak dapat saling berkomunikasi tetap dihukumi tidak sah. Menurut
mereka yang dimaksud satu majlis adalah berkumpul dalam satu tempat dan
satu waktu. Maka pernikahan itu sah manakala semua pihak yang terlibat
dalam prosesi akad nikah harus bekumpul secara fisik, seperti yang
dinyatakan dalam kitab Hasyiyata Qalyubiy wa ‘Umairah juz XI halaman 115
yakni :
... بِحَضْرَةِ شَاهِدَيْنِ أَيْ بِشَرْطِ أَنْ يَسْمَعَا الْعَقْدَ بِالْفِعْلِ.
“ ... Dihadiri dua orang saksi dengan syarat mereka mendengar akad secara langsung.”
Bahkan kitab Roudhatuth-Tholibin wa Umdatul Mauftin juz II halaman 460 mengilustrasikan :
وَلَوْ خَاطَبَ غَائِبًا بِلِسَانِهِ فَقَالَ زَوَّجْتُكَ
بِنْتِى ثَمَّ كَتَبَ فَبَلَغَهُ الْكِتَابُ أَوْ لَمْ يَبْلُغْهُ
وَبَلَغَهُ الْخَبَرُ فَقَالَ قَبِلْتُ نِكَاحَهَا لَمْ يَصِحَّ عَلَى
الصَّحِيْحِ.
”Bila
seseorang berbicara dengan orang yang tidak ada di hadapannya lalu ia
berkata : Aku nikahkan kamu dengan anak perempuanku. Kemudian ia menulis
perkataan itu, sehingga tulisan itu sampai kepadanya atau tidak sampai
tetapi beritanya yang sampai kepadanya. Kemudian orang itu menjawab : Saya terima nikahnya. Maka akad nikah yang demikian itu tidak sah menurut pendapat yang sahih.”
Keuda, golongan Hanafiyah menyatakan bahwa akad nikah dengan menggunakan alat teleconference hukumya sah. Kesimpulan
tersebut diperoleh karena menurut golongan ini yang dimaksud dengan
majlis yang menjadi keharusan akad nikah bukanlah keberadaan dua orang
yang melakukan ijab qobul harus berada dalam satu tempat secara fisik.
Boleh saja tempat keduanya berjauhan, tetapi apabila ada alat komunikasi
yang memungkinkan keduanya melakukan proses pernikahan dalam satu waktu
yang bersamaan, maka hal itu tetap dinamakan satu majlis, sehingga akad
yang dilakukan tetap dihukumi sah. Jadi yang dimaksud
satu majlis menurut mereka aialah apabila dua belah pihak yang
melakukan akad nikah dapat berkomunikasi secara langsung dan
melaksanakan akad nikah dalam waktu yang bersamaan. Media apapun dapat
digunakan asalkan hal itu dapat menghubungkan kedua belah pihak tanpa
ada kemungkinan terjadinya manipulasi. Mereka menggunakan istilah :
اَلْمَجْلِسُ يَجْمَعُ الْمُتَفَرِّقَاتِ.
”Majlis akad dapat menyatakan orang-orang yang berbeda-beda tempatnya.”
Dalam kitab Fatawa al-Imam Abdil Halim Mahmud juz II halaman 124 dinyatakan :
فَإِذَا لَمْ يَتَمَكَّنِ الزَّوْجُ
وَالزَّوْجَةُ وَالشَّاهِدَانِ مِنَ الْحُضُوْرِ فِى مَجْلِسٍ وَاحِدٍ
وَحَاوَلَ اْلإِسْتِعَاضَةَ عَنْ ذَلِكَ فِى وَسِيْلَةٍ مِنْ وَسَائِلِ
اْلإِتِّصَالِ كَالتِّلْفَونْ الْمَرْئِيِّ مَثَلاً ... كَانَ النِّكَاحُ
جَائِزًا.
”Apabila
suami, istri dan dua orang saksi tidak bisa hadir dalam satu majlis,
namun ia berupaya mengganti kehadiran itu dengan perantara yang dapat
menghubungkan mereka seperti teleconference ... maka nikahnya sah.”
والله أعلم بالصواب
Author,Drs. H.Mughni Labib, MSI
dikutip dari web. Kankemenag Kab. Cilacap.